JENDELA INFORMASI, KEDIRI – Mustasyar PBNU periode pertama KH. Moh. Ma’roef sang pendiri ponpes Kedonglo – Kediri, berkenan menjadi Imam dan Khotib di Masjid Subulussalam, saat pertama kali diselenggarakan Jum’atan.
Secara keseluruhan gaya Arsitektur Masjid Subulussalam Lingkungan Bence Kelurahan Pakunden Kecamatan Pesantren Kota Kediri, adalah campuran antara Islam dan Jawa.
Atau bisa dikatakan memiliki gaya arsitektur yang mendekati antik.Hal ini bisa dilihat dari atap Masjid yang bersusun 3, dan 4 belah sisi atap seperti jenis bangunan rumah joglo, dengan jenis jonglo amangkurat. Kemudian disangga oleh beberapa pilar besar dibagaian serambi.
Menurut Kyai Imam Mochtar Ahmad, filosofinya menurut Islam, 3 susun atap memiliki makna Iman, Islam dan Ihsan, yang berarti mencerminkan kesempurnaan seorang Muslim dalam beriman.
” Iman harus meyakini rukun iman 6. Islam sebagai umat Islam yang baik, kita harus menjalankan rukun Islam yang berjumlah 5. Dan untuk Ihsan melambangkan seorang hamba yang memiliki kedekatan dengan tuhannya. Yang senantiasa Sadar dan merasakan dilihat terus oleh Alloh SWT.
Masjid Subulussalam sendiri merupakan satu satunya Masjid yang ada di Dusun Bence. Masjid ini merupakan tempat yang menjadi pusat kegiatan ke agamaan bagi masyarakat di Dusun Bence dan sekitarnya pada saat itu. Dan Masjid Subulussalam sendiri sudah mengalami beberapa kali proses pembangunan, untuk memperbaiki ataupun pembagunan pada bangunanya.
Tokoh yang berperan dalam proses pendirian Masjid Subulussalam, adalah mbah yai Imam Masyhud berasal dari Setonogedong Kediri. Pindah ke Bence sekitar tahun 1910 kemudian membangun langgar sederhana. Namun diperkirakan sebelumnya sudah ada langgar / Masjid, karena lokasi masjid Subulussalam yang sekarang dulunya adalah Kantor Kenaiban ( KUA ). Karena pada umumnya pada saat itu Kenaiban ( KUA ) selalu memiliki dan berdampingan dalam satu lokasi dengan Masjid Jami’ tingkat Kecamatan.
Pada tahun 1934, Mbah Yai Masyhud wafat. Kepemimpinan diteruskan Mbah Kyai Imam Ahmad putra pertama Mbah Kyai Imam Masyhud sampai sekitar tahun 1950. Karena ditahun itu Mbah Imam Ahmad harus hijrah ke Ngunut – Tulungagung untuk memimpin Langgar Wakaf dimana Mbah Abdul Syukur (sang mertua) yang mulai udzur.
Maka estafet kepemimpinan di Bence diteruskan Mbah Kyai Moh. Ridlwan putra kedua Mbah Imam Masyhud, hingga wafat tahun 1968. Pada tahun itu pula, dengan serta merta Mbah Imam Ahmad pun kembali lagi ke Bence periode ke 2 meneruskan perjuangan mbah kyai Ridlwan sampai wafat pada tahun 1981.
Akhirnya, kepemimpinan umat diteruskan kyai Abdul Manaf bin Imam Ahmad sampai Wafat di tahun 2005. Selanjutnya sesepuh Masjid Subulussalam diteruskan oleh kyai Moh. Salim bin Moh. Ridlwan hingga wafatnnya pada tahun 2025. Kemudian saat ini tongkat Estafet diteruskan oleh Kyai Imam Mochtar Ahmad.
Bersamaan dengan kehadiranya saat itu untuk memakmurkan Masjid, kyai Masyhud mendirikan mejelis ilmu dengan menggelar ngaji sorogan / damparan berbekal pengalaman selama 12 tahun membacakan kitab Fathul Mu’in di depan para santri, di ponpes Mangunsari – Nganjuk asuhan KH. Imam Bahri. Saat itu Santri kyai Imam Masyhud datang dari berbagai daerah baik dalam kota ataupun dari luar Kota. Dalam kepengurusan NU Kediri periode pertama Mbah Kyai Imam Masyhud didapuk sebagai A’wan jajaran Syuriyah.
Banyak orang menyebutnya, Kekokohan masjid ini terletak pada bangunan sebagai tempat majelis ilmu. Karena banyak tokoh besar yang pernah melaksanakan Sholat di masjid Subulussalam. Yang pernah melaksanakan Sholat Jumat pertama kali pada tahun 1940. Seperti beliau Yang menjadi Imam sekaligus Khotib adalah Kyai Haji syekh Muhammad Ma’roef dari Pondok Pesantren Kedunglo Kediri. Pada saat itu beliau juga menjabat sebagai Mustasyar periode kepengurusan pertama di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU ).
Masjid Subulussalam pada tahun 1967, pernah dilakukan renovasi ulang pada semua bangunan. Awal 1970 menjadi Masjid yang diberi nama Masjid Salam Rejo. Saat itu tinggi pondasinya sekitar 1 meter lebih diatas tanah. Seperti ciri khas rumah jaman dulu. Seiring dengan perkembangan Zaman, dilakukan ada pembangunan jalan raya tepatnya jalan Piere Kapten Tendean. Semakin lama pembangunan pengaspalan jalan raya, membuat pondasi masjid sejajar dengan jalan raya.
Terus kemudian pada tahun 1980 an, banyak yang mengusulkan untuk mengganti nama Masjid Salam Rejo yang terasa terlalu “Njawani”
Maka Kyai Imam Mochtar pun berpendapat bahwa kata Salam harus tetap dipertahankan alias tidak dihilangkan, karena itu merupakan peninggalan tokoh pendahulu. Dan ajaibnya, secara terpisah Bpk. Moh. Dimyati Ahmad, Bpk. Taman Musthofa dan Bpk. Salim Ridlwan sama-sama mengusulkan sebuah nama baru menjadi SUBULUSSALAM.
Kata ” Subulussalam ” juga merupakan salah satu nama kitab tentang Fiqih yang memiliki arti jalan jalan menuju keselamatan.
Penulis,
Kamid Jurnalis Media Online dan Cetak.





















